Matahari. Sebuah benda angkasa yang tak ternilai harganya. Memancarkan panasnya dengan semburan-semburan api yang indah. Terkadang, matahari sangat ganas dengan jilatan api merah membara dan letupan-letupan air didih dari tubuhnya. Namun tidak kali ini, ia menyinari bumi dengan cahaya redupnya. Hangat. Warna putih di tengah dengan gradasi kuning di sekeliling bulatnya. Ditemani dengan langit angkasa biru yang terbentang luas dan gumpalan-gumpalan awan yang berarak mengitari bumi. Indah. Pagi ini sangat indah.
Banyak orang yang menghabiskan pagi
ini dengan berolahraga.
Ada orang tua yang
berjalan-jalan, para remaja yang jogging, anak-anak yang asik bermain, dan... juga ada dia.
Dia.
Seorang bidadari dari surga. Rambut pendek sebahunya yang hitam kelam serasa jutaan benag-benang halus yang pernah tercipta.
Mata coklatnya yang bulat,
indah, dan dalam. Matanya tidak pernah tajam, namun matanya... lembut. Seakan secangkir coklat panas yang membawa kehangatan
dan ketenangan. Dia
benar-benar ciptaan Tuhan yang terindah.
"Sonya!!!"
Gadis
itu berdiri dari duduknya. Ia memutar tubuh dan menjumpai seorang
laki-laki yang berjalan menghampirinya. Siapa lelaki itu?? Dari
kejauhan aku hanya bisa
melihat mereka berdua berbincang-bincang santai. Kadang ada senyuman manis yang tersimpul di bibir
gadis itu, kadang dia juga tertawa renyah. Aura manisnya keluar. Namun siapa
laki-laki itu? Ada hubungan apa dia dengan gadis ini?
▪▪▪▪▪
"Dan!
Fokus, Bro! Jangan ngelamun teruslah. Tugas akhir semester, Bro"
"Eh...
Sorry sorry. Dari mana tadi? Bisa ulangin lagi gak?"
Aku
menghela nafas panjang. Dandy. Orang tersantai yang pernah ada. Sekali lagi aku
menerangkan project movie ini dan menjelaskan tugas
masing-masing. Dandy, Ria, dan Aji mendapat tugas mencari pemain-pemain dan
perlengkapan. Sonya, Chandra, dan Lutfi mendapat tugas mencari lokasi. Bella,
Lola, Riko, dan aku mendapat tugas naskah dan danus. Project ini harus
berhasil. Times to work!!!
\
▪▪▪▪▪
"Cut!
You are so perfect!"
Ini
hari ke 8 berada
di lokasi, desa di sebuah perbukitan tepatnya. Pengambilan scene
ke 12
dan kurang 7 scenes lagi, short movie ini akan selesai.
Lola
berhasil menyutradari dengan baik. Ia tidak membentak maupun berteriak. Ia
halus dalam pengerjaan, sehingga aktor sewaan yang berperan mampu mengeluarkan
ekspresi terbaiknya. Sonya juga.
Sonya.
Selama 8
hari di sini ia
terlihat buruk. 2
hari sebelum berangkat pun ia
sudah terlihat buruk. Lemas. Kadang pucat, dan sering tertidur. Ada apa ya?
Akhirnya,
tepat pukul 10 malam, pengambilan scene ke 14 selesai.
Pekerjaan dilanjutkan besok. Kami semua membersihkan lokasi lalu satu persatu
dari kami pun
pergi dan pulang.
Hingga
akhirnya aku dan Sonya yang terakhir. Ini bukan kali pertama kami tertinggal hanya
berdua. Sebenarnya hanya Sonya yang terakhir, namun karena aku tak tega, aku
memperlambat lajuku dan menunggunya hingga selesai.
BRUUUK!!! Sonya terjatuh. Dengan segera aku berlari dan
membantunya berdiri. Perlahan aku menuntun Sonya yang pucat dan lemas untuk
duduk.
"Kamu
duduk aja."
Lalu,
aku kembali berlari kecil dan memunguti barang-barangnya. Ada buku-buku, lembaran-lemabaran
kertas, dan sebotol tabung kecil putih?
Perlahan,
aku kembali kepada Sonya yang masih terduduk manis disana. Terduduk lemas
tepatnya. Dengan ragu dan rasa canggung, malu, aku memberanikan diri untuk
duduk di sampingnya. Aku penasaran, ada yang salah dengannya hari ini.
"Ini
apa?", kataku seraya menunjukkan tabung putih kecil tadi.
"Cuma
vitamin. Makasih ya.", jawabnya tersenyum manis.
Ia
mengambil tabung itu dan memasukkanya ke dalam tas. "Ayo pulang!"
Sonya
menarik tanganku berdiri dan mengambil buku-bukunya tadi. Tanganya dingin. Pasti ada yang salah dengan dia.
Aku segera mengambil buku-bukunya
dan bersedia untuk membawakan bukunya kali ini. Kami berjalan berdampingan.
"Kamu
sakit ya?"
Sonya
memandangku sekilas, tatapannya kaget. "Enggak. Cuma capek aja." Tersenyum.
"Kalau
capek kamu bilang aja. Terus istirahat.", jawabku tetap menatapnya.
Ada
senyuman kecil yang tersimpul disana. Aku melihatnya dari samping. Ia tak mau lagi menatapku. Mungkin ia hanya ingin
fokus pada jalan.
Akhirnya kami berjalan dalam
diam. Tak ada sepatah kata pun yang keluar. Memang apa yang harus dibicarakan?
Mungkin tentang film tadi? Tidak, itu basi, atau
mungkin tentang...
UHUK
UHUK!! Sonya menutup mulutnya dan berlari kencang
menuju salah satu rumah
sekitar. Tidak, bukan rumahnya yang dituju, namun kran airnya? Dari kejauhan aku melihat ia berjongkok
dan membasuh mulutnya dengan air. Tidak hanya mulutnya, namun hidungnya juga. Dia masih terbatuk. Batuknya malah terdengar semakin parah. Semakin keras dan keras. Hingga
tiba-tiba dia terjatuh. Pingsan.
Aku
segera berlari menghampirinya. Aku tidak peduli dengan buku yang jatuh beserakan, yang fokus pada pikiranku
sekarang hanya Sonya.
Dia pingsan. Wajahnya
putih pucat pasi. Ada noda
merah di hidungnya. Juga mulutnya. Itu… Darah???!!
▪▪▪▪▪
PROK PROK PROK!!!! Suara tepuk
tangan bersahut-sahutan memenuhi ruang teater ini. Siulan-siulan dan
teriakan-teriakan penonton menambah sensasi puas malam ini. Malam ini merupakan
malam pementasan film kami. Film terakhir.
“Andaikan Sonya bisa lihat ini, tonight
will be more perfect”, kata Chandra yang tiba-tiba muncul dari belakangku.
“Ya… Tanpa Sonya, ini semua gak
akan berjalan lancar.”, sahut Ria.
“Aku memang sutradara di film
ini, tapi yang sesungguhnya berkerja ya Sonya. Dia meminit semua detail job
yang kurang. Tanpa dia, malam ini tidak akan pernah terjadi.”, tambah Lola yang
sudah turun dari panggung.
Lutfi mengangkat tangganya
padaku. “Selamat ya.”, katanya tersenyum.
“Selamat apa???”, tanyaku bingung.
Masih membiarkan tangannya terangkat.
“Selamat karena kamulah yang
menjadi cinta pertama dan terakhir Sonya selama hidupnya.”
Aku tersenyum simpul. Sonya. Sonya. Mengingat nama itu…..
▪▪▪▪▪
Aku menarik tangan Sonya dan
mengajaknya keluar. Tangan dinginnya memegang jemariku erat. Nyaman rasanya.
Tenang. Aku mangajaknya duduk di rerumputan hijau di bawah pohon dengan
pemandangan langit hitam luas dihiasi kelirpan-kerlipan ribuan bintang dan satu
bulan di tengah.
“Bulan. Bintang.”
Sonya tersenyum manis. “Aku ingin berada diantaranya”
Kaget. Aku memandangnya dalam.
Sonya yang berada di kiriku tetap saja memandang bulan dan ribuan bintang indah
di depannya. Ia masih tersenyum.
Sonya sakit. Selama ini dia
berjuang untuk hidup mati-matian.
Sonya sakit ,Di. Dia sakit. Dia
menderita selama ini.
Dibalik senyum dan tawanya dia
hanya tidak mau membuatmu khawatir.
Dia sama sekali tidak ingin
dikasihani. Ia ingin terlihat baik untukmu.
Dia lelah untuk terus melawan.
Dia lelah untuk bersandiwara dihadapanmu.
Buka matamu, Di!!! Dia
menyukaimu selama ini
Ku mohon.. Buat dia bahagia, Di.
Buat dia mengerti rasanya cinta. Sayang.
Ini sudah keajabaian jika Sonya
bisa hidup sampai detik ini.
Kanker ini sudah stadium 3.
Selama 4 tahun dia menghadapi kanker ini.
Mungkin ini sudah waktu
untuknya.
“Laki-laki yang kamu lihat pagi
itu, dia dokterku. Aku dan dia hanya batas 5 tahun.
Jadi aku menganggapnya kakak. Begitu juga dia”, kata Sonya pelan.
Lamunanku akan kata-kata yang
diucapkan semuanya seketika kabur. Hilang.
“Dingin, Di.”
“Ayo masuk.”
Sonya menahan tanganku yang akan
mengangkat tubuhnya pergi. Dari posisi berdiriku dan dia yang masih terduduk manis, aku menatapnya.
Dia menggeleng dan tersenyum
kecil. Dia malah menarik tanganku sehingga membuatku duduk tepat disampingnya. Namun,
untuk kali ini dia masih tetap menggenggam tanganku erat.
“Aldi..” Sonya menyebut namaku
lembut. Aku memandangnya dalam.
“Aku suka kamu.” Dia tersenyum.
“Kumohon jangan tinggalin aku. Jangan pergi”
Meninggalkan?? Aku menarik tubuh dingin Sonya dalam
pelukanku. Sejenak aku
meletakkan daguku tepat di kepalanya dan membelai rambutnya pelan. Masih dalam pelukan. Siapa yang
akan meninggalkan?Siapa yang akan pergi?
“Aku gak akan pernah ninggalin kamu”, jawabku terbata.
Aku menangis.
Sonya mengangkat wajahnya dan
perlahan dia membasuh pipiku yang basah. “Jangan nangis. I’ll be fine.”, katanya
masih dengan senyum manisnya.
Kembali Sonya dalam pelukanku.
Ia memejamkan matanya sebentar.
“Aku capek, Di. Pengen tidur. Tapi,
nyanyiin aku satu lagu ya.”
Ganti. Aku yang mengangkat
wajahku dan melihatnya dalam. “Lagu apa?”
“Cinta sejati,
ost. Habibie Ainun.”
Perlahan aku
menyanyikan lagu itu. Terkadang diselingi isakan tangisku yang tak tertahan.
Sonya masih menutup matanya. Terkadang aku mendengar ia bernyanyi mengikuti
laguku. Masih mengikuti, masih mengikuti, masih, masih, masih, masih, dan….
Sunyi. Ia terdiam. Ia terdiam. Ia menutup mulutnya rapat. Dengan senyum yang
tersungging di paras cantiknya. Ia mentup matanya. Pergi. Selamanya.
saat ku tak lagi di sisimu
ku tunggu kau di keabadian
▪▪▪▪▪
0 comment:
Post a Comment