Saat itu bulan bersinar hangat.
Dengan bulat rupanya dan kilauan sinarnya, menambah elok suasana malam dingin
ini. Tak hanya bulan indah itu yang mengisi gelapnya langit, ada ribuan bintang
setia menemaninya dan mau meluangkan waktu mereka untuk menerangi dunia kecil
ini.
Namun, bukan hal itu yang membuatku bahagia. Bukan bulan yang
membuatku terkesima. Bukan bintang yang membuatku berbunga. Hal yang membuatku
bahagia saat itu adalah aku bisa melihat kamu. Ya… Kamu.
Kamu berdiri tegap diantara jejeran 5 orang yang siap menerima umpanan bola di lapangnya tanah luas. Dengan pasti kamu membungkukkan badanmu dan tanpa ragu kamu dapat memantulkan laju cepat sang bola dengan genggaman tangan kokohmu. Permainan baru saja dimulai. Kamu bermain dengan baik. Dengan lincah kamu mampu mengejar lambungan bola yang pergi kesana kemari. Dengan kokoh kamu mampu menahan tamparan keras bola pada telapak tangan lembutmu. Dengan lihai kamu mampu mempermainkan bola bulat itu dan secepat kilat kamu mampu memberi pukulan keras nan cepat pada bola itu. Sebenarnya kamu bermain seperti biasanya orang bermain, namun entah mengapa aku melihat sesuatu yang berbeda dari dirimu. Sesuatu yang membuatmu “lebih” dari 5 orang di sekitarmu. Dari awal hingga akhir kamu masih dapat berdiri kokoh bagai sebuah besi tebal yang tertanam rapi dalam kerangka dinding. Ya, kau bagai kerangka utama dalam permainan ini. Mungkin kamu memang libero, entahlah aku tidak pernah paham tentang permainan voli ini. Namun satu hal yang aku pahami saat itu adalah kamu masih tersenyum dengan manis. Senyumanmu.
Kamu berdiri tegap diantara jejeran 5 orang yang siap menerima umpanan bola di lapangnya tanah luas. Dengan pasti kamu membungkukkan badanmu dan tanpa ragu kamu dapat memantulkan laju cepat sang bola dengan genggaman tangan kokohmu. Permainan baru saja dimulai. Kamu bermain dengan baik. Dengan lincah kamu mampu mengejar lambungan bola yang pergi kesana kemari. Dengan kokoh kamu mampu menahan tamparan keras bola pada telapak tangan lembutmu. Dengan lihai kamu mampu mempermainkan bola bulat itu dan secepat kilat kamu mampu memberi pukulan keras nan cepat pada bola itu. Sebenarnya kamu bermain seperti biasanya orang bermain, namun entah mengapa aku melihat sesuatu yang berbeda dari dirimu. Sesuatu yang membuatmu “lebih” dari 5 orang di sekitarmu. Dari awal hingga akhir kamu masih dapat berdiri kokoh bagai sebuah besi tebal yang tertanam rapi dalam kerangka dinding. Ya, kau bagai kerangka utama dalam permainan ini. Mungkin kamu memang libero, entahlah aku tidak pernah paham tentang permainan voli ini. Namun satu hal yang aku pahami saat itu adalah kamu masih tersenyum dengan manis. Senyumanmu.
Mungkin sejak saat itu aku merasa berbeda. Mungkin sejak itu
aku merasa bahagia. Mungkin karena muncul sosokmu itu. Mungin karena kamu. Aku
masih mengingat dengan jelas caramu tersenyum, aku masih mengingat dengan jelas
saat-saat kamu menatapku dan tak sengaja pandangan mata kita saling bertemu. Iya
… Saling bertemu, eyes on eyes. Memang tak cukup lama, mungkin hanya
beberapa detik, namun di beberapa detik itulah aku menemukan ketenangan yang
sangat hangat. Kejernihan yang yang sangat murni. Yang hanya ada dalam matamu. “Jauh dimata
dekat di hati”, kita tidak pernah bertemu, kita tak pernah berjumpa, lagi, namun bayangmu selalu ada dan
mengiringi. Mungkin peribahasa “Tak kenal maka tak sayang” sama sekali tidak
berlaku pada hidupku saat ini. Kuharap juga pada hidupmu.
Jika ditanya tentang apa essai ini, dengan tegas aku akan
menjawab “tentang kamu”. Jika ditanya mengapa essai ini tentang kamu, aku akan menjawab “entahlah, aku tidak
tahu, sepertinya aku hanya ingin menulis tentang kamu”. Jika ditanya bagaimana
aku menceritakan dirimu, aku akan menjawab “Senyumanmu… Tatapanmu…”. Jika
ditanya siapa kamu, aku akan menjawab “Kamu… Kamu adalah orang yang tidak aku
kenal, yang selalu terbayang”.
0 comment:
Post a Comment