Sabtu. Hah… Hari yang
ditunggu-tunggu oleh banyak pemuda pemudi. Malam minggu, keluar, hang out,
kumpul bareng, dan melakukan segala sesuatu yang menyenangkan. Tapi malam minggu ini berbeda, aku dan kedua sahabatku, Luna dan
Kiki memutuskan untuk pergi ke sebuah konser band malam nanti. Setidaknya
hal itu bisa mengalihkan perhatianku pada satu hal tak terlupakan. Kepergian
kekasihku
yang telah 4 tahun aku sudah menjalin hubungan dengannya. Pergi
selamanya. Ryan.
“Kita cari tempat di
mana, Me?”, tanya Luna menarik lengan bajuku.
Aku memutar kepalaku ke kanan ke kiri berusaha
mencari tempat yang ksosong, namun tidak ada. “Gak tau, Lun. Keliahatan penuh
banget ini.”
“Disitu aja!”
Tiba-tiba Kiki
menunjuk sebuah tempat. Kosong! Akhirnya kami memutuskan untuk berdiri di situ.
Tepat pukul 19.00 konser sudah dibuka. Ontime!
Tak lama kemudian band utama
membuka acara dengan lagu hist mereka. Suasana langsung meriah. Kami
berteriak-teriak. Tidak hanya kami, tapi seluruh penonton di stadion ini
berteriak sekencang-kencangnya. Sangat kencang.
“Hoi, Rez!!!”
Ada seorang lelaki yang tiba-tiba menyenggol
lenganku dan menyapa, tapi “Rez”? Siapa “Rez”?
“Sorry?”,
teriaku keras, mengingat suara di stadion ini sangat kencang.
Lelaki itu mendekatkan
wajahnya ke telingaku dan berkata, “Kamu Rezki, kan?”
Aku kaget. Rezki? Aku
melihat kedua sahabatku di samping kanan. Mereka tertawa kecil.
“Maaf, aku bukan
Rezki.”
“Loh… Kamu bukan
Rezki?”
Aku menggeleng.
“Kamu bukan Rezki to?
Terus nama kamu siapa?”
JEDARRR!!! EAAA!! Ternyata
cowok ini pengen kenalan, batinku. Kiki langsung membalikan tubuhku
menghadap kearahnya. Kiki dan Luna ketawa-ketawa bodoh.
“Cowok itu ngajak
kenalan?”, tanya Kiki antusias, namun tetap dihiasi tertawanya kecil.
Aku mengangguk.
“Norak banget kenalan
di tempat beginian, pakai cara salah orang lagi.”, Luna tertawa.
“Dijawab gak
kenalannya?”, tanyaku.
Mereka berdua
mengangguk mantap.
Aku membalikkan
tubuhku lagi. Namun, cowok itu tidak ada. Otomatis kepalaku celingukan
mencari-cari dia. Tiba-tiba ada yang mencolek bahu kananku. Cowok itu.
“Nyariin ya?”,
tanyanya dengan senyum jahil
tersungging di paras tampannya.
Aku hanya tertawa
kecil. Cowok ini lucu, tapi sedikit norak juga. Tapi noraknya lucu.
“Jo.” Lelaki itu
mengulurkan tangan kanannya tegas.
Aku membalas uluran
tangannya. “Bejo Suminarsih Haryanto Kusumo Negoro, panggilan Jo.”
“Ha?”, tanpa disadar
mulutku menganga membentuk huruf O.
Dia tertawa. Lagi.
Dan… Manis, lagi. “Bercanda. Jo, Josua”
Aku tersenyum. “Meka.”
---
Sejak saat itu kami berdua
mulai saling mengenal. Sering kami pergi berdua, ke bioskop, melihat pameran,
dan lain sebagainya. Semakin lama mengenal dia, semakin aku tahu bahwa dia
sangat konyol. Ya… Di gila! Tapi gilanya itu yang lucu. Satu moment yang
masih aku ingat. Di café, sore hari.
“ Mbak, lemon tea saya mana?”, tanya Jo dengan wajah kecewa.
“Loh… Bukannya tadi
sudah diantar, Mas?”, tanya sang pelayan bingung.
Jo menggeleng.
“Belumlah, Mbak. Kalau sudah
ya saya minum daritadi”
“Oh iya, Mas. Maaf
maaf. Akan segera kami antar”
Sang pelayan pun
langsung lari mke dapur. Dan ya, Jo semakin lepas tertawa. Dia melihatku jahil
dann lalu mengeluarkan lemon teanya
dari bawah meja.
“Sial! Kamu jahil Jo!”
Aku tertawa.
“Biarin. Sekali-kali
ngerjain pelayan fine aja kan?”
Jo tertawa. Dan aku
juga. Kami berdua tertawa lepas. Dan saat pelayan lain kembali membawakan
minum, Jo malah beracting seolah bingung kenapa ada minuman lagi
untuknya. Sontak sang pelayan itupun bingung. Dengan wajah malu dan innocentnya
sang pelayan meminta maaf dan kembali pergi. Wajahnya merah. Dia benar-benar
malu. Hah… Saat-saat bersama Jo memang tidak pernah membosankan.
“Kamu gak jadian sama Jo?”
Aku menggeleng.
“Me, dia jelas suka sama
kamu. Hubungan kamu sama dia aja sedekat ini”, Kiki berkata mantap.
Lagi. Aku
menggeleng.
“Segala bentuk
kedekatan hubungan itu gak harus
selalu berujung dengan cinta. Aku nganggep Jo cuma sahabat.”
---
Rabu.
15 Mei 2013. Hari yang sangat melelahkan bagiku. Pagi-pagi aku sudah ke sekolah
sampai jam 2. Setelah itu langsung pergi les, pergi seminar, pergi tugas, dan
pergi kemana-mana.
“Hah…
Capek. Sampai rumah aku pengen mandi, makan, langsung tidur.”
Sesampainya
di rumah aku melihat ada 3 motor terparkir di halaman. Motornya familiar
dengan ingatanku. Sepertinya aku kenal siapa pemiliknya. Dengan segera aku
langsung memasuki rumah. Ruang depan kosong, tidak ada siapa pun, ruang tengah juga
kosong, dapur, juga. Dimana semuanya?
“Jadi
Meka tidak menyukaimu?”
Ada
suara dari halaman belakang. Suara mama?? Perlahan aku berjalan menuju asal
suara. Tidak hanya suara mama yang aku dengar, namun ada orang lain. Perempuan
dan laki-laki.
“Jo?
Luna? Kiki?”, kataku lirih dibalik pintu.
Aku bingung, kenapa
mereka disini. Dan bagaimana mama bisa mengenal Jo? Aku tidak pernah
mengenalkan Jo kepada mama.
“Kata
Meka, dia hanya menganggap Jo sebagai teman, Tan”, Luna menerangkan.
“Iya,
Tan. Padahal Jo itu sudah membuat Meka tertawa terus dan mendekati dia. Bahkan
Jo sering memberi perhatian lebih kepadanya.”
“Tapi,
Meka sama sekali tidak menganggap itu special, Tante.”, Jo memotong
pembicaraan Kiki.
“Ya
Tuhan… Bagaimana lagi aku harus membuat putriku mendapatkan kebahagiannya lagi?
Padahal aku sudah menyuruh seseorang untuk mendekatinya. Sedangkan dia masih
saja mencintai kekasihnya yang telah tiada.”
DEG!
Aku terdiam. Aku terpaku, mematung disana. Jadi ini semua rekayasa? Mama
menyewa Jo untuk ini? Untuk membuatku melupakan cintaku? Ryan…
Aku bingung. Aku kecewa!
Aku marah! Aku… Aku… Aku tidak menyangka mereka berbuat begini.
“Ma…” Suaraku lirih.
Sontak
mereka semua melihat padaku. Mereka tercengang. Mereka bingung, mereka diam,
mereka… Takut. Perlahan aku berjalan mendekati mereka. Perlahan dengan langkah
lemas tak berdaya.
“Kenapa?”,
tanyaku lirih. “Kenapa, Ma?”, tanyaku lagi. Lirih. “Jo? Luna? Kiki? Kalian
semua ikut dalam sandiwara ini?”, tanyaku masih suara lirih. Lemas.
Mereka
diam. Saling memandang dengan wajah bingung. Takut tepatnya.
“Kenapa?”
“KENAPA KALIAN SEMUA LAKUIN INI?!!!!”, Aku marah.
Saat
itu juga mama langsung berdiri dan
menghampiriku dengan langkah berat.
“Nak…
Me, mama bisa jelasin ini semua.”, kataa beliau takut.
“Stop.”,
kataku lirih.
Aku
menutup mataku. Membukanya perlahan. Dan yang aku lihat hanya 4 orang yang aku
sayangi, telah mengkhianatiku. Luna, Kiki, Jo, bahkan mamaku sendiri.
Air
mataku mulai menetes. Deras, deras, dan semakin deras. Aku hanya menagis. Yang
menangis tidak hanya mata ini, namun juga hati ini yang menjerit keras menangis.
“Kebahagianku
tidak dengan harus melupakannya, Ma. Tidak menggantikannya. Aku bisa.”
Suaraku
terdengar menyakitkan. Sakit karena deruan tangisan yang tidak mau berhenti
maupun beristirahat sejenak. Aku hanya menggeleng. Lagi. Aku menggeleng. Dan
berlari. Berlari menjauh dari tempat ini. Berlari menjauh dari orang-orang ini.
Berlari menjauh dari semua masalah ini!
---
Sejak
saat itu aku, menjauh. Dari Luna, Kiki, mama, bahkan Jo. Jo, hah… Dia orang yang mulai aku percaya. Hanya
sebagai seorang sahabat, lebih pun hanya sebagai seorang kakak. Tapi kenapa dia
mau melakukan ini? Kalau dia butuh uang, aku bersedia membayarnya seberapapun,
asalkan dia tulus mau berteman denganku.
Jujur,
aku tidak pernah suka dengan hal ini. Tidak! Semua ini hanya membuatku merasa
sendiri.. Sepi. Kesepian ini membuatku merasa semakin terpuruk. Terkucilkan.
Kesepian ini membuatku semakin mengingat Ryan. Ryan… Tawanya, senyumnya,
candaannya. Ryan… Aku mengingat semua tentang dia. Saat pertama dia mengenalku.
Saat pertama dia malu mengajakku berbicara. Saat pertama dia memandangku
terpaku. Saat pertama dia menyatakan cinta. Saat pertama dia membuatku tertawa.
Saat pertama dia menjahiliku. Saat pertama dia menggenggam erat tanganku. Saat
pertama dia menghiburku. Saat pertama dia memelukku. Saat pertama dia… dia…
dia…
“AAAAAAA!!!!!!!!!!!”
“Tuhan!!!
Kenapa Kau lakukan semua ini padaku?! Apa kurang aku bersujud menyembah
kepadaMu?! Apa perlu aku selamanya bersujud di sajadah suciMu?! Apa perlu aku
membungkuk setiap detik untukMu? AAA!!! Tuhan!!! Kenapa Tuhan Kenapa?”
Air
mataku menetes.
“Tuhan…
Aku tahu Engkau telah mengambil cintaku dan membawanya pergi ke pelukanMu. Aku
tahu… Aku mengerti... Tapi, kenapa semua terjadi secepat ini?!! Kenapa Tuhan?
KENAPA??!!”
“Tuhan…
Aku bisa mendapatkan kebahagianku kembali. Aku bisa Tuhan… Namun tidak dengan
cara melupakannya. Kumohon Tuhan… Kumohon beritahu mereka bahwa aku bisa
melakukannya…”
Aku
menangis. Ya… Semakin deras. Aku terisak. Degup jantungku terasa cepat dan
kencang di dada ini. Perlahan aku menutup mataku. Berusaha menenagkan diri dan
menarik nafas panjang. Hingga akhirnya aku membuka mata dan yang terlihat
adalah sepasang kaki. Aku mengangkat kepalaku ke atas.
“Jo?”
Jo
berjongkok. Dia mengusap pipiku lembut dan menggenggam bahuku tegas dan
mengangkatnya ke atas,
“Maaf
Me. Maafin aku. Maaf. Gak seharunya aku melakukan ini. Seharusnya aku percaya
kamu bisa mendapatkan kebahagianmu sendiri tanpa melupakan cintamu. Maaf Me..
Maaf”
Aku
menggeleng. Masih bercucuran air mata. Aku memeluk Jo. Kali ini aku sangat
membutuhkan pelukan hangat dari seseorang. Ya… Kami menangis. Menangis dalam
pelukan. Pelukan Jo. Pelukan seorang sahabat.
Malam
itu juga aku meminta maaf kepada mereka. Luna, Kiki, dan mama. Dan mereka juga
lebih meminta maaf kepadaku. Perlahan aku berbicara, dan perlahan juga mereka
percaya bahwa aku bisa bangkit. Aku bisa bahagia. Dan aku masih bisa merasakan
cinta sejati suatu saat nanti. Aku bisa. Dan aku yakin.
---
“Hoi!!”
Aku
menoleh ke asal suara. “Maaf?”, tanyaku.
Aku tidak mengenal orang
yang menyapaku ini.
“Kamu
Gina kan?”, Tanya cowok tadi bingung.
Aku
tambah bingung. “Maaf, salah orang mungkin. Aku bukan Gina.”, jawabku tersenyum.
“Loh
bukan ya?”
Laki-laki
itu menggaruk kepalanya kik-kuk. Dia tertawa kecil. “Kamu bukan Gina ya? Terus
nama kamu siapa? Kenalan…” Dia tersenyum.
Aku
tertawa kecil.
Segala
bentuk perkenalan itu mempengaruhi kedekatan nantinya. Namun segala bentuk
kedekatan, belum tentu mempengaruhi arti hubungan selanjutnya. Persahabatan itu
lebih berarti dari pada percintaan. Namun percintaan lebih mengenang
daripada persahabatan.
END
yang telah 4 tahun aku sudah menjalin hubungan dengannya. Pergi selamanya. Ryan.
0 comment:
Post a Comment